Sejarah Tari Gajah Mada Sioumpu, jejak Gajah Mada dan Majapahit di tanah Buton (Sulawesi Tenggara).

Ribuan masyarakat adat Binawakili di Pulau Siompu, Kabupaten Buton Selatan, Sulawesi Tenggara, menggelar pesta adat yaitu tradisi meta’u’a atau tolak bala. Tradisi ini juga untuk mengenang kedatangan pasukan Gajah Mada yang pernah singgah di Pulau Siompu dalam misinya mempersatukan nusantara ratusan tahun silam.

“Tradisi meta’u’a atau pesta adat tahunan oleh masyarakat adat Binawakili digelar selama lima hari yang diawali dengan tari lindano komtai atau tarian memanggil arwah yang dilakukan para tetua adat pada tengah malam, hal ini dikandung maksud meminta izin dimulainya tradisi meta’u’a,” ungkap Ali, salah satu penggiat budaya adat Binawakili.

Kata Ali, tarian ini dilaksanakan tepat jam 12 malam dimana para penari mengunakan baju kebesaran serba putih untuk memanggil para arwah yang dilakukan oleh orang tua adat

Ali menambahkan, pada malam berikutnya tari linda dilakukan sekelompok muda mudi yang disebut kosarunga untuk meluapkan kegembiraan dan juga sebagai ajang silaturahmi. Kemudian dilanjutkan dengan ritual sungkawiano yang bertujuan untuk mengenang jasa dua tokoh yang dihormati sebagai bangsawan Kesultanan Buton. Dalam ritual ini disajikan makanan serba santan yang dimaknai dapat mendatangkan rezeki.

Selanjutnya Sungkawiano Sangia, pengenangan terhadap La Ode Bunga Walanda dan Wa Ode Bunga Owe Owe, yang diyakini karam dan tengelam di seputaran pesisir Pulau Siompu dan makanan yang disajikan harus serba dari santan kelapa semua, ” tambah Ali.

Di hari puncak tradisi meta’u’a digelar tarian sakral yang disebut fomani yaitu sebuah tarian yang diajarkan ketika sekelompok bhayangkara atau pasukan elit Majapahit mengawal gajah mada yang menyinggahi Pulau Siompu dalam pelayarannya ke timur nusantara.

Sebelum pelaksanaan tarian fomani, terlebih dahulu digelar syukuran atau makan bersama tetua adat dan masyarakat setempat dengan hidangan khas Pulau Siompu.

Dua penari disiapkan untuk adu ketangkasan dalam tarian tersebut. Sebelum melakukan tarian, sang penari yang disebut Kamanumanu terlebih dahulu disyarati oleh tetua adat di dalam sebuah rumah. Penari dilengkapi dengan tombak dan parang serta tameng yang dibaluti lilitan bunga cempaka.

Penari atau Kamanumanu tidak mengenakan baju namun dibaluti dua helai kain berwarna merah dan putih sebagai simbol kesucian dan keberanian, sedangkan ikat kepala penari diidentikkan dengan pakaian Mahapatih Gajah Mada yang tidak sembarang orang mengenakannya.

“Bunga cempaka ini yang paling berperan penting di Kamanu manu, bunga cempaka dalam artian pengenangan terhadap leluhur dan apabila Cempakanya berjatuhan dalam adu kekuatan, punya arti dan filosofi tersendiri, “jelas Ali.

Selain fomani, dalam tradisi meta’u’a juga digelar tradisi nazar yang masyarakat adat setempat disebut alawamba. Dalam tradisi ini sejumlah anak-anak diarak dengan memegang tangkai bambu yang diselipkan lembaran uang, tradisi ini dilakukan sebagai nazar atau ungkapan rasa syukur setelah sembuh dari penyakit yang berkepanjangan.

Tradisi meta’u’a diakhiri dengan ritual arona rewu atau ritual pungut sampah untuk membersihkan kawasan Baruga atau balai adat yang dijadikan pusat kegiatan tradisi meta’u’a.

Kepala Dinas Kebudayaan Buton Selatan, La Ode Haeruddin, mengungkapkan Pemerintah Kabupaten Buton Selatan, sangat mendukung dan memberikan perhatian penuh terhadap pelestarian warisan budaya tradisi meta’u’a yang dinilai dapat memberikan banyak sisi manfaat sosial dan budayanya.

Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi ini dapat dijadikan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat khususnya masyarakat wilayah hukum adat baruga Binawakili di Kecamatan Siompu ini,” kata Haeruddin.

Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa Gajah Mada memulai ekspedisi ke seluruh Nusantara sejak tahun 1360 Masehi, pada masa itu Buton dipimpin oleh Raja Bulowambona. Dalam kronik Buton dan tutur lisan Wabula, pada saat itu Kerajaan Buton dibantu Majapahit menyerang kerajaan Wabula. Pasukan Majapahit (Majapahit) sangat pandai menunggangi kuda, pasukan Majapahit dapat melepaskan anak panah sembari berbaring saat kuda berlari kencang.

Mada di Buton dikisahkan sebagai anak Sijawangkati, panglima militer yang mengawal Sipanjonga. Sijawangkati adalah salah seorang dari Mia Patamiana, yang merupakan empat orang bangsawan asal Johor yang mendirikan Kerajaan Buton.

Keempatnya adalah Si Panjonga, Si Malui, Si Jawangkati, dan Si Tamanajo. Si Jawangkati menikahi Puteri Lasem Lailan Mangraini, perempuan jelita adik bungsu Sibatara dan Jutubun Bhau Beri Raja Kamaru.

Di Lipu Katobengke, Sijawangkati dikenal sebagai Parabhela Mancuana. Dialah yang menaklukkan Tobe-Tobe dengan membunuh rajanya Dungku Changia.

Si Jawangkati punya postur yang tinggi dan besar. Dia yang pertama memimpin Kampung Gundu- Gundu, salah satu kampung tua di Buton. Ingatan tentang Gajah Mada bisa ditemukan di banyak lokasi.

Di Kamaru, kini wilayah Kabupaten Buton, Gajah Mada dinamakan “Kompo Ooge” atau Si Perut Besar. Di Batauga, Buton Selatan, dia dinamakan “Landoro Langi” yang menyimpan jejaknya di Bukit Ombo, Gunung Wamoroko.
Gajah Mada juga dikisahkan ada di Takimpo, wilayah Kabupaten Buton.

Dia diyakini dikuburkan di sebuah situs dekat batu naga dalam Benteng Takimpo. Masyarakat adat meyakini di situlah kuburan Gajah Mada beserta empat puluh orang prajurit pengikut setianya.

Di Liya dan Kaledupa, Kepulauan
Wakatobi, jejak Gajah Mada begitu juga kuat tertinggal. Gajah Mada menjadi ingatan kolektif masyarakat adat. Sebuah tempat tapa yang dinamai Tapaa disebut pernah ia singgahi.

Bahkan di Liya, pemuka adat mempercayai bahwa Gajah Mada muksa di sana pada sebuah tempat dalam goa di Togo Mo’ori.
Sebuah jejak prasasti juga terpahat di sana, di pesisir pantai antara Sempo Liya dan pulau Simpora.

Di situ terdapat batu yang oleh masyarakat setempat dinamai Batu Mada.

Di tanah Buton, kisah Gajah Mada ditemukan di banyak lokasi. Dia dihormati, disanjung, bahkan telah dikultuskan sebagai Maharsi atau manusia suci yang nirnoda.

Bermula dari tempat paling mula dijejaknya sejak ketibaannya di Buton, di pulau yang tepat berada di muka Kalampa dan bandar Batauga-pelabuhan paling ramai saat itu, pulau Siompu.

Di Pulau Siompu, Gajah Mada digambarkan sebagai sosok berbadan bongsor, memanggul tameng dengan pedang pada tangannya. Di bahunya yang lebar terpasang kokoh kelat dan gelang kuning mengilau pada lengannya, rambutnya panjang, disanggul cepol, ia tampak gagah dengan wibawa yang besar.

Tradisi lisan mengisahkan, ketika datang, dia tidak dikenali. Dia disebutkan datang bersama empat puluh orang yang setia mengawalnya. Mereka memanggul tameng, menenteng senjata, memikul panji kebesaran
Karena tak diketahui namanya, pemuka adat Pharabela Siompu menamainyalah La Palei Yandala.

Ada juga yang menyebutnya Lapale Yandala yang kira kira berarti “Orang yang melalui atau melintasi samudera.
La Pelei ini melabuhkan kapalnya di lepas pantai barat hingga selatan Pulau Siompu, La Pelei mendarat dengan perahu kecil di mata air Butu, atau sering disebut Oeno Butu yang terletak di tepian pantai Kula, Nggula Nggula.

Dahulu tempat itu memang menjadi persinggahan para pelayar untuk mengisi perbekalan air minum, karena mata air dengan debit yang besar ada di
sana. Bahkan dahulu itu ada air jatuh pada tebingnya yang arusnya menumpah langsung ke laut.

Gajah Mada dikisahkan berselubung kain putih. Kain itu dikenakan mereka yang bersiap muksa. Dia memakai sabuk berbentuk kepala harimau dengan mulut menganga melingkar di perutnya yang bongsor.

Rambutnya mengilap di minyaki lungsir putih sesudah ia berlangir–mencuci rambut dengan perdu memakai kulit
kavu dan daunnya. Inilah tradisi merias.

Tradisi pengenangan yang dikemas dalam ritual tahunan Metaua. Inilah tradisi adat di Siompu yang sepenuhnya adalah sebenar-benar pengenangan terhadap tokoh besar paling disanjung: Gajah Mada atau oleh mereka di Siompu dinamai Lapalei Yandala atau Lapale Yandala.

Jejak Gajah Mada disimpan rapi oleh keturunan Ina Hamu di Lapala, Batuaga. Keturunannya menjadi ahli waris dan penjaga situs yang diyakini sebagai makam Gajah mada.

Ina Hamu dikabarkan sering mendendangkan syair Gunung Ringgi. Syair ini berisi kisah Majapahit dan pengelanaan Gajah Mada ke negeri- negeri terjauh di timur. Syair ini disampaikan dalam dalam bahasa Jawa kuno berlanggam kromo dengan sebagian di dalamnya terdapat diselipi kata-kata Cia-Cia, Pancana, dan Wolio.

Gajah Mada digambarkan sebagai seorang sederhana tetapi dengan wibawa yang besar. Dia tegas dalam mengambil sikap, jujur dalam perkataan, mengabaikan kehendak dirinya dengan menyimpan kepentingan orang banyak sebagai yang
utama. Dia memperoleh gelar kehormatan dari kerajaan Buton sebagai “Landoro Nangi”, yang kira-kira berarti: “Orang besar yang menang”.

Gajah Mada menetap di Wamoroko, sebuah daerah pegunungan di timur Batauga dengan puncaknya yang berkabut dan berhawa sejuk. Seorang budayawan menganggap daerah itu sebagai tempat yang paling tepat mewujudkan Dharma Agung dan bakti yang dicitanya setelah ter(di)sisih dari hiruk pikuk politik di kerajaan
Majapahit, menjadi Resi atau seorang petapa suci yang agung.

Ina Hamu sering mendendangkan syair Gunung Ringgi, yang liriknya:

“Agungie Lan Panguwasanin ee Banderanoe Maajapahi…Saikie Wus
Kumelebatie… Ingee Saindenging Nusuwantarae… Ya Iki Kang Daadi Gegayuhaningsun… Lanee Ingi
Wanci
Iki Ingisun Mapan Ing Saluhuring Gunung Ringgi… Akang Agawei Ingsun Bise Narasakake Manawa Ing Duwuring Langi… Langi Isi Ana Langi Mane… Akuana Lungguie Ingi..
Dawuring Wach Batara Ombo
Kangi Agungi…”

Pada sebuah puncak bukit paling tinggi dengan dikelilingi pohon-pohon besar dipilihnya sebagai tempat tapa, merenung sekaligus menenung bakal takdir baik-buruknya sendiri, dinamai tempatnya itu sebagai: Ombo, dan konon di sanalah ia mencapai Moksa nya.

Konon dalam Sanskerta, “Ombo” itu berarti tempat yang lapang dan nyaman, sedangkan dalam Buton dimaknai sebagai tempat yang “Rahasia” dan “Terlarang”. Begitulah Gajah Mada menyimpan jejaknya di Buton, abadi dalam ingatan kolektif masyarakatnya, abadi dalam tembang syair nyanyian rakyat, abadi dalam pahatan beraksara Pallawa pada batu- batu dan dinding di gua Batara Batauga.

Buton sendiri pernah menjadi wilayah vassal Majapahit (setara negara bagian), dimana Buton wajib memberikan pajak upeti kepada pemerintahan pusat di Trowulan, Jawa Timur sebagai balas jasa Buton karena Majapahit pernah membantu Buton menaklukkan Wabula. Namun Buton tetap memiliki kebebasan untuk mengatur politik, perdagangan hingga ekonomi di kerajaannya.

© Indonesia 2045 || Cityscape, Wonderful Indonesia – #IndonesiaEmas2045

-AG Admin- (teks dan foto : Akun ‘Kisah Ulama Dan Sejarah Nusantara’)

By darampa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *