Bang Jay kali ini kembali berada di Desa Wawoangi bersama Kepala Desa Wawoangi, La Ode Abdul Halim, S.H. yang akan berkisah tentang sejarah keberadaan replika perahu wasalamata yang dijadikan sebagai tumpangan para leluhur masa lampau untuk berkeliling dunia dan menjelajahi Benua Eropa, dan sejarah berdirinya Masjid Tua Wawoangi.
“Kenapa dinamai perahu wasalamata, itu artinya salah dipandang mata, saking lajunya perahu wasalamata ini, maka perjalanan terakhir atau titik terakhir dari perjalanan perahu wasalamata adalah di Desa Wawoangi, kapal ini tidak lagi berlayar karena sudah ada Masjid Tua Wawoangi.“ ujar Halim
Berdirinya Masjid Tua Wawoangi sebagaimana dijelaskan kepala desa, ketika Syech Abdul Wahid, ulama terkemuka di tanah Buton terdampar di Pulau Batuatas lalu ke Rampea dan melihat cahaya yang kemudian tempat cahaya tersebut didirikan Masjid Wawoangi.
“Pada titik cahaya itulah Syech Abdul Wahid mendirikan Masjid Tua Wawoangi, dan tepat di depan pintu masuk terdapat beberapa makam yakni makan La Galunga anak dari Sultan Murhum, dan anak La Galunga yang kemudian menjadi Sultan Buton ke-7 yang disebut La Saparigau.“ ujarnya
Masjid ini selalu dijaga dan dirawat oleh masyarakat setempat karena telah mejadi kebanggaaan masyrakat khususnya dan masyarakat Buton pada umunya. Dikatakan kepala desa bersama dengan tokoh masyrakat di Desa Wawoangi senantiasa melakukan doa demi kebaikan dan kemakmuran bersama.
“Di Masjid Tua Wawoangi ini telah dipenuhi segala fasilitas mulai dari lampu, air, toilet, baruga untuk tempat beristirahat. Alhamdulillah dulunya itu kita beli air dua atau tiga tandon setiap minggu. Sekarang sudah dilengkapi sumur bor, namun saya sangat sesali juga bahwa belum ada satu orang masyakat Buton ini yang memberikan perhatian khusus kepada Masjid Tua Wawoangi ini.” ujarnya
Abdul Halim juga mengatakan di Desa Wawoangi juga ada sebuah benteng pertahanan dengan perkiraan ukuran dua atau tiga meter tingginya diperkirakan sejak zaman kesultanan. Benteng ini sudah berdiri dengan kokohnya hinga saat ini masih dapat dilihat.
“Ada sebuah benteng besar dengan tujuan pembangunannya dengan luas dua hektar 200 meter untuk menjaga Pulau Buton di bagian Selatan dari gangguan bajak laut dan perompak. Namun yang perlu diperhatian bahwa ada apa sesungguhnya di dalam benteng tersebut sehingga para leluhur mati-matian berusaha membangun benteng tersebut hingga berdiri kokoh hingga saat ini.”
Abdul Halim mengucapkan terima kasih kepada para leluhur di tanah Buton yang telah membuat karya luar biasa yang dijadikan warisan bagi masyarkat Buton pada umumnya dan masyarakat Wawoangi pada khusunya.
“Leluhur kami sudah menitipkan karya leluhur kepada kami sehinga kami selaku pewaris ini diberikan umur panjang, diberikan kesehatan sehinga berbuat lebih banyak lagi khususnya memelihra warisan karya besar leluhur kami berupa Kapal Wasalamata, Masjid Tua Wawoangi dan Benteng Wawoangi semoga Allah SWT dan lehuhur kita di Buton meridhai. Aamiin yaa Rabbalalamin.“ tutupnya