Lengang,… Hanya terdengar desau angin yang berbisik diantara dedaunan yang tinggi menjulang di percabang pohon-pohon. Sunyi walau tak mencekam, dan sesekali suara motor warga terdengar melintas menuju ke kebun-kebun mereka. Selebihnya adalah diam membisu.
Itulah Wakumoro di pagi hari, (30/10/2023). Seolah tak ada gerak. Tak ada denyut, dan seakan tak ada siapa-siapa. Itu, minimal menurut penghilhatan lahiriah kita di pagi yang cerah.
Karena kepagian.
Padahal permandian alam yang eksotif ini selalu dibanjir pengunjung, Diserbu para pelancong dan seolah tak pernah terputus dari berbagai daerah sekitar, termasuk dari Kabupaten Muna Barat, Buton Tengah, bahkan dari Kota Baubau di seberang pulau, dan sesekali datangnya dari Kendari. Daratan besar yang membutuhkan waktu tiga sampai empat jam perjalanan kapal cepat hingga di Ibukota Kab.Muna.
Air biru yang bening seolah menghitam, tanpa riak, hanya sesekali percikan ketika daun-daun yang gugur atau ranting patahan mengusik permukaan. Tenang dalam irama alam, dan mengalun dalam hipnotis suara burung yang berkicau. Menyambut pagi.
Tak terhitung pohon-pohon raksasa yang menancap ke perut bumi. Menjadi pertanda keberadaannya tak terbilang tahun. Mungkin seumuran para pemilihara pertamanya kawasan itu yang sudah lama ‘moksa’. Batang-batangnya yang rata-rata tiga atau lima pelukan orang dewasa seolah ingin menyapa langit. Tinggi menjulang tersilau cahaya terang dipadu awan.
Cabang-cabang utamanya melingkar seperti laiknya payung raksasa menutup bumi. Menutup batako-batako atau semen yang sudah terhampar sejak sekian lama.
Tak jauh dari disitu, di seberang danau terlihat Kompleks Makam Raja Wuna dan keturunannya. Mengabarkan perasaan kuno dan terkesan berbalut mistis.
Seolah kawasan ini dipagari tirai gaib yang tak kasat mata. Sebuah perlindungan yang tak mampu dijamah manusia, apalagi pemerintah telah menetapkannya sebagai kawasan perlindungan. Terproteksi untuk menjaga kelangsungan dan kelestariannya sepanjang zaman.
Seorang kawan yang mengantar ke tempat ini, Nur Arduk, mengurai bahwa salah satu pihak yang menjaga kawasan ini adalah warga, meski memang ada pengelolanya yang ditunjuk, dimana warga setiap saat lalu lalang dari pemukiman ke kebun-kebun mereka.
Disamping para warga pekebun, juga adalah generasi salah seorang Raja Wuna dan pihak lainnya, termasuk warga kelahiran Wakumoro yang telah sukses di perantauan, dan masih banyak pihak lain lagi.
Untuk mencapai permandian ini yang terletak di Kelurahan Wakumoro Kecamatan Parigi Kab.Muna Sulawesi Tenggara membutuhkan waktu tempu 1,5 jam dari Kota Raha, atau satu malam perjalanan dari Kota Kendari dengan menggunakan kapal yang berangkat p[ukul 22.00 wita dan sampai di Pelabuhan Raha pukul 05.00 dikeesokan harinya, sekitar delapan jam di atas kapal.
Namun kalau berangkat siang hari, menggunakan kapal cepat dengan dua kali pemberangkatan setiap harinya, yakni pukul 08.00 wita pagi, dan pukul 13.00 wita siang. Waktu tempuh ini lebih cepat, kira-kira 3 hingga 4 jam.
Para peziarah kadang lebih memilih menggunakan kapal malam seperti rombongan kami, dimana pagi harinya ketika tiba di Pelabuhan Raha, Ibukota Kab.Muna, bisa menikmati kuliner.
Apalagi waktu itu sempat juga ‘dibooking’ oleh PIC BUMDes TAPM P3MD Kemendesa PDTT Kab.Muna, Laode Bachrun, untuk turut mencicipi nikmatnya masakan khas Muna yang memang selalu diburu para penikmat kuliner nusantara.
—- Maknyos—-
(s.darampa)