Pagi ini, Senin (13/11/23) melalui telepon FB berdering keras. Di seberang sana muncul nama yang sudah sekian tahun tidak pernah lagi baku kontak. Tak pernah ada kabar. Tiba-tiba terdengar suara ‘apa kabar ayah’.
Suara itu yang tak pernah berobah. Dialah sang pemuda 15 tahun lalu selalu mengajak diskusi tentang kampungnya, tentang dusunnya, tentang warga yang jauh menetap di puncak gunung pada silang tiga Gowa – Bone – Sinjai.
Muhlis Paraja,..!
Pertama kali jumpa dia sewaktu pelatihan perencanaan desa oleh program Yayasan Wakil – ACCESS AusAID di Kab.Gowa. Sebagai peserta yang mewakili Desa Pao Kec.Tombolopao, bersama rekannya Ardi –sekarang pendamping lokal desa, membincang bagaimana desa desa memiliki perencanaan berbasis asset based. Sebuah metode yang belum dilakukan sebelumnya.
Suatu waktu, saya menyempatkan datang mendaki ke salah satu dusun di Desa Pao, Pattallassang. Sebuah pedusunan yang berada di ketinggian, dan untuk mencapainya harus melintasi lembah, dan menyeberangi sungai serta mendaki puncak dari dusun ibukota desa.
Penat, lelah, dan ngos-ngosan. Tetapi kemudian akhirnya terbayar manakala sudah memasuki dusun tersebut. Di puncak, terhampar seluruh lembah-lembah yang hijau membentang, dan beberapa pedusunan lain dalam wilayah kecamatan tersebut.
Dari kunjungan inilah, yang kemudian digagas sekolah informal, Sekolah Alam Bowonglangi, yang kala itu disponsori oleh Kadesnya (Alm) Najamuddin. Seorang tokoh panutan yang berhasil membangkitkan kemajuan desanya dan dusun-dusun lain di sepanjang poros Gowa – Sinjai tersebut.
Sekolah ini masih eksis sampai sekarang, meski para mentornya yang terdiri atas aktivis LSM dan penggiat hukum, yang belakang terus berkembang dengan support dari berbagai kalangan, Sulawesi Channel (LSM Media), termasuk PB AMAN (aliansi masyarakat adat nusantara).
Muhlis terus bergerak. Tidak lagi dibatasi oleh dinding pedukuhan, tak lagi sebatas desa-desa di sekitarnya. Tapi terus menfasilitasi dan mendorong keberdayaan komunitas-komunitas lokal, memperjuangkan pangan lokal mereka, mendorong lahirnya regulasi-regulasi lokal untuk masyarakat adat.
Dari tapak-tapak itulah kemudian sejumlah komunitas adat memperjuangkannya untuk duduk di Ketua Harian DPC AMAN Gowa. Sebuah organisasi yang memperjuangkan kepentingan dan kebangkitan masyarakat adat di nusantara.
Sabang hari, sabang tahun, terus berputar, diantara lembah-lembah hunian, diantara kota-kota dan temanya selalu hanya satu, yaitu kampungnya. Apa pun jenis seminarnya, apa pun jenis pertemuannya, baik skala kabupaten, provinsi hingga di nasional, tema bicaranya hanya kampungnya, hanya komunitas, hanya masyarakat adat.
Mungkin,…
Karena kosentrasinya itulah dia dipinang oleh partai-partai untuk masuk di DPRD Kab.Gowa. Pinangan itu pun ditolaknya mentah-mentah, dengan alasan bahwa lebih riil perjuangannya kalau tetap berkutat di komunitas.
Sikap kukuh tamatan SMP ini yang kemudian dilanjutkan SMA paket C pun akhirnya rontok. Itu terjadi karena sejumlah tetua-tetua adat dari berbagai komunitas merekomendasikannya untuk maju ke DPRD. Karena rekomendasi dari AMAN inilah yang kemudian memaksanya untuk bergabung di salah satu partai.
“Ayah,..Ijin. Saya mau jadi caleg untuk DPRD Kab.Gowa. Saya tidak bisa menolak karena ini perintah dari tetua adat, termasuk perintah gaib dari Alm.Puang L.Sambolonggi setelah saya nyekar ke makamnya di Toraja,” ujar Muhlis.
“Kalau sudah perintah para tetua, kita tidak bisa menolak. Ini sudah perintah langit untuk mensejahterakan umat bumi,” ujarku. #sdarampa.